468x60 ads




Dadah

0 comments

Oke, jadi gini, dari dulu aku kepengen punya blog dengan domain '.com'
Akhirnya hari ini aku memutuskan untuk membelinya. Gak cuman beli domain aja, aku juga bikin blog baru di wordpress. Dan belum kepikiran kenapa ga beli domain aja dan dimapping ke blog ini. Huft. Gapapa deh, pokoknya selamat lahir  http://inihana.com/ !!!! :D :D

bismillah :)

Hanya Curhat

0 comments

Rahasia . Masa lalu .
Melihat rahasia itu....tetap saja seperti membuka kotak pandora, walaupun itu rahasia dulu yang udah ga zamannya lagi. Membuka sesuatu yang....berisiko besar. But your curiosity ignores it.

Curiosity can kill a tiger. A tiger can kill a man. Dengan menggunakan penarikan kesimpulan silogisme, maka, curiosity can kill a man.

Sebuah Rute

0 comments

Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Dulu dan Sekarang dan Nanti

8 comments

Beberapa bulan lalu, tertulis dalam sebuah agenda:


dengan diikuti di halaman-halaman berikutnya, tahun ini menjadi kepala divisi ini, tahun sekian menjadi menteri ini, tahun sekian membuat sekolah. Detil dengan waktunya.

****

Dalam sebuah wawancara...

Pewawancara (selanjutnya disingkat 'P'): kamu pernah ga kepikir bikin target tahun ini harus jadi ketua apa atau apa gitu?
Yang diwawancara (selanjutnya disingkat dW): iya kak, dulu pernah saya targetin semester depan harus jadi BPH ini, tahun ini jadi ketua ini, tapi sekarang udah enggak lagi
P: lho, kenapa?
dW: soalnya yang saya kejar itu gimana caranya ngasih manfaat ke orang lain, bukan jabatannya. Takutnya kalau saya targetin harus jadi ketua ini ketua itu, saya akan berpikir bahwa saya baru bisa berkonstribusi setelah menjabat.
P: padahal, dari sifat-sifat kamu, kayaknya kamu cocok lho jadi ketua ini itu, sayang sih ga mau?
dW: bukan ga mau sih kak, cuma tujuan saya bukan jabatannya. Kalau memang menjabat jadi ketua ini atau itu menjadi suatu jalan untuk bermanfaat ya kenapa enggak?

***

"Saya telah mewawancara banyak petinggi-petinggi UI, para ketua-ketua itu, mereka memang hebat-hebat, jawabannya keren-keren. Tapi ketika saya tanya 'Bagaimana Anda bisa mengubah bangsa ini?' mereka mengatakan akan melakukan perubahan, nanti mereka akan menjadi menteri ini, menteri anu, presiden ini saat tahun xxxx."
"Anda bisa mengubah dunia tanpa jabatan, Pemimpin itu independen, tidak bersandar pada sesuatu di luar dirinya. Ketika Anda berpikir bahwa Anda akan mengubah dunia setelah menjadi menteri atau apapun, Anda bukan lagi pemimpin" 
"Pemimpin tidak butuh sebuah jabatan struktural untuk mengubah lingkungannya, untuk mengubah dunia"


-cuplikan seminar dari Pak Arif Munandar (dengan perubahan)


Semoga, itu bukan sekedar wacana atau sekumpulan saliva yang berkumpul di mulut saja untuk menarik hati si P. Semoga itu bukan sekedar suatu cara atau idealisme agar terlihat keren. Semoga itu melebur dalam setiap langkah.





PS: kadang emang kalau kita nargetin jadi ini atau jadi itu bagus, kelihatan visioner dan terencana. Namun, ketika kita menargetkan itu semua, apa niatnya? Kelihatan keren? Panjangin CV? Eksis? Biar ntar bisa gampang dapet jabatan selanjutnya? Apa yang bakal kamud dapet setelah mencpai target itu? Muse it .

Langit

2 comments


Aku jatuh cinta, sama Langit .

Setelah sebelumnya aku naik pesawat dengan kondisi muntah-muntah, sekarang aku tahu apa manfaatnya pesawat. Aku jadi serasa bisa melihat Langit lebih dekat, melihat bumi biasanya aku berpijak, dan terbang ke kayangan. Aku cinta sama Langit, kita sehati, satu nyawa. Langit tahu aku sedang tidak gembira, makanya Langit menurunkan tetesan anugerahnya. Langit memberi tahu aku bagaimana yang terbaik, karena Langit bisa melihat dunia. Ketika aku sedang bahagia pun, Langit membuat celah agar Tuan Matahari bisa lewat dan  menemani aku tersenyum.

Aku ingin bisa ke Langit, ketemu Nyonya Rajawali dan melihat bagaimana beliau mengajarkan anaknya terbang, soalnya aku juga ingin diajari. Atau ketemu sama Tuan Elang, menikmati kegagahan dan kewibawannya. Langit itu keren, Dia bisa melihat kalian. Langit bisa melihat bagaimana kalian berbohong dan berganti topeng. Atau melihat kalian berbuat baik dan mengasihi yang lain. Langit bisa tertawa melihat tingkah laku kalian. Enak kan?

Sayangnya harga pesawat tidak murah. Agak berat di ongkos nih kalau harus PDKT dengan Langit pakai pesawat. Belum tentu juga Langit suka dengan pesawat, sepertinya tidak. Aku butuh tak tik lain agar bisa dekat dengan Langit.  Emmm, burung? Iya nih, aku butuh burung. Pesawat sudah kurang mampu mengajakku ke Langit. Pesawat hanya sampai ke ketinggian sekian puluh ribu meter di atas permukaan laut, terus dia kembali lagi ke bawah. Dia tidak sanggup. Aku kurang puas kalau harus kembali lagi, aku ingin ke Langit. Kalau aku menemukan burung yang dekat dengan Langit, pasti akan aku dekati burung itu. Akan kupelihara dia dan kujadikan dia sebagai burung terhebat. Lalu dia membimbingku menuju jalan ke Langit.
Eh tapi siapa ya? Ada referensi?


Surabaya, pagi hari

Semarang, siang hari

Rewwin, sore hari

Depok, sore hari
Fasilkom, sore hari
Puncak, sore hari

Puncak, sore hari

Rewwin, senja

Jadi Hebat

2 comments


Mereka bilang, kebahagiaan hakiki itu bukan dihitung dari seberapa besar gaji mereka, atau pangkat yang telah mereka capai. Kebahagiaan hakiki muncul setelah melihat apa yang mereka kerjakan mempunyai dampak positif bagi orang lain, bagaimana kita bisa bermanfaat bagi orang lain .

"Dahulu saya pernah diancam bahkan sampai diteror oleh preman-preman, tapi rasanya semua terhapus ketika melihat mereka (para anak jalanan asuhan beliau) sudah bisa cari kerja, melamar jadi cleaning service atau ada yang melanjutkan studi ke PTN" -Didit Hape, pendiri Sanggar Alang-Alang (sebuah sanggar yang mendidik anak jalanan) (dengan revisi)

Berapa banyak anak jalanan yang terbantu dengan Pak Didit. Ketika mereka dahulu merasa tidak ada harapan dan hanya sebatas ngamen, Pak Didit datang ke kehidupan mereka. Beliau mengarahkan mereka untuk menjadi manusia yang dapat berbuat sesuatu. Hasilnya? Menjadi juara lomba robot, menjadi penyanyi terkenal, menjadi juara lomba tinju, atau menjadi mahasiswa bukan lagi sekedar imajinasi bagi mereka. Mereka tidak lagi bermain di ruang imajiner, mereka telah menyeberang ke ruang real, dengan bantuan tangan Pak Didit.

"Saya dulu pernah kerja di instansi pemerintah, ketika itu gaji lumayan, kerjanya hanya bikin paper, paper dinilai, naik pangkat. Tapi saya tidak bahagia. Lalu saya memulai sebuah usaha dan mempunyai karyawan-karyawan. Dan ketika ada karyawan yang bilang sudah mulai cicil rumah, sudah bisa menghidupi keluarganya, hati saya bahagia. Dari sana bahagia berasal" - Ita Budi Radiyanti, eksportir.

Seorang pengusaha memang mulia, apalagi jika dari awal diniatkan untuk memberikan kebermanfaatan. Sekarang sudah banyak orang yang hidupnya bergantung di usaha yang dijalani oleh Bu Ita. Banyak orang yang dari usaha itu dapat menghidupi keluarganya, dapat menjadi kebanggaan keluarganya. Kebergantungan itulah yang menjadi motivasi beliau untuk terus maju. Ketika banyak orang mengandalkan usaha itu untuk terus hidup, tidak ada alasan untuk berhenti dan menyerah.

"Wartawan itu gajinya kecil dibanding yang lain. Gaji atau reputasi bukan segala-galanya. Ketika itu saya pernah memberitakan seorang anak autis barusan lari dari rumahnya, saya tayangkan fotonya. Lalu 3 jam kemudian anak itu ketemu. Rasanya bahagia. Kebahagiaan hakiki seorang wartawan datang ketika kita memberitakan sesuatu dan itu berdampak" - Putra Nababan, wakil pemimpin redaksi Seputar Indonesia.

Siapa yang tidak kenal Putra Nababan? Hadir mewarnai berita sore, namanya melonjak ketika mewawancarai Obama. Namun bukan itu yang beliau cari. Hakikat wartawan datang dari dampak beritanya. Saat dokter dapat menyembuhkan satu pasien dalam suatu operasi, seorang wartawan dapat menyembuhkan suatu bangsa. Menjadi wartawan baginya merupakan suatu tanggung jawab besar. Karena pada dasarnya wartawan hanya seorang abdi yang membawa cita-cita dan mengajak berpikir suatu bangsa. "Kami ini adalah pembantu rumah tangga yang bergelar PhD."

See? Mereka semua orang-orang hebat. Hebat bukan dari reputasinya, bukan dari pendapatannya, atau keahliannya. Mereka hebat dari banyaknya manfaat yang mereka berikan, dari banyaknya orang yang bersyukur dengan keberadaan mereka.

Sebuah tamparan memang, mengingat bahwa aku masih belum mengikhlaskan niat untuk memberikan manfaat di setiap langkah. Masih ada rasa ego untuk bisa tampil keren, diakui, atau mengasah kemampuan.

Ya, memang selama aku melakukan banyak hal, memang orientasinya adalah diriku sendiri. Setiap langkahku diniatkan sebatas untuk bagaimana aku bisa meningkatkan kemampuan diri dan mendapat penghargaan dari orang lain. Jadi, aku kuliah yang rajin untuk menjadi orang yang pintar dan mendapat nilai bagus. Bukan, aku kuliah rajin untuk bisa nantinya memanfaatkan ilmuku dan memberikan manfaatnya kepada masyarakat hingga nantinya berujung pada ridho-Nya.

"Mahasiswa itu kebanyakan idealis. Tapi harus hati-hati sekali, ketika sudah sampai ke dunia nyata, banyak sekali arus kencang yang membawa mahasiswa. Orientasi orang itu hanya duit. Idealisme itu gampang sekali goyah. Jadi, mumpung mahasiswa, mumpung punya waktu untuk berpikir, mulailah pikirkan bagaimana nantinya kamu akan bermanfaat bagi orang lain, susun rencananya." -Ya, Pak Putra :)

Apa?

Jadi hebat itu bukan sekedar punya nama, tampil di koran, atau jadi pembicara. Jadi hebat itu jadi bahagia. Jadi orang yang memberikan manfaat langsung kepada orang lain, kepada umat, kepada bangsanya.

Kata

2 comments

Tadi di stasiun dalam perjalanan pulang ke asrama, saya melihat beberapa mahasiswa berjakun. Ga banyak sih, ga nyampe 10 kayaknya. Kelihatannya, mereka sedang sibuk mengajak orang-orang yang lewat khususnya mahasiswa buat mengawasi keputusan DPR terkait kenaikan harga BBM dan pengesahan RUU Dikti. Atas nama BEM UI, mereka berpendapat bahwa kenaikan harga BBM itu gak ramah sama rakyat, khususnya rakyat kecil.

Di samping mereka, ada bapak-bapak tua, sepertinya termasuk golongan rakyat kecil, sedang memungut sampah. Jalan... jalan... jalan... dan bapak itu melewati para mahasiswa dengan orasinya tentang BBM dan rakyat kecil.

Apa yang terjadi?

Nothing Happened. Semua berjalan seperti biasa, sesuai kepentingan masing-masing. Si mahasiswa tetap dengan orasinya. Si bapak tetap dengan karung sampahnya. Dan saya, tetap menikmati jalannya momen itu. Tidak ada interaksi, tidak ada irisan. Walaupun apa yang masing-masing lakukan benar-benar berkaitan. Padahal, orasi si mahasiswa membawa nama rakyat kecil dan bapak tukang sampah itu (sepertinya) termasuk rakyat kecil. Saya, yang mengamati dari kejauhan hanya manggut-manggut dan berpikir, lagi-lagi tanpa aksi.

Menurut saya itu lucu. Kenapa? karena semua berjalan saja, semua pake kacamata kuda, ga ada yang noleh. Walaupun si mahasiswa dengan semangatnya membela rakyat kecil, toh pas ada rakyat kecil yang terdekat dengannya saat itu ya udah. Apalagi saya, dalam hati pas itu ngerasa gimana gitu, eh tapinya juga ga bertindak, mengasihi si bapak, atau membantu si bapak, atau melakukan hal-hal yang biasa keluar di ujian PKn SD.

Mahasiswa itu, dan saya hanya bermain kata saja. Bedanya, dia main lisan, saya main tulis. Dia mengkritisi pemerintah, saya mengkritisi mahasiswa (termasuk saya), berantai. Lainnya? Sama saja. Saat itu dia tidak menyentuh si bapak, sama dengan saya (saat itu lo ya, mungkin di lain waktu dia malah sangat peduli dengan si bapak, who knows?).

Terus?

Kata memang senjata paling ampuh buat kelihatan keren, pintar, peduli, baik, kritis, bijak, dan lain lain. Ingin kelihatan peduli? Buat saja status yang menyatakan betapa kasihannya mereka. Atau kelihatan kritis? Orasi saja dengan membawa nama pemerintah. Atau kelihatan pinter? Twit yang banyak masalah isu nasional dengan term asing.

Tidak, saya gak menyalahkan 'kata' kok. Saya ga bilang, mereka yang berkata-kata bagus dan nyaring itu buruk, enggak. Tanpa kata belum tentu Indonesia merdeka. Toh, presiden pertama kita yang mulia Soekarno juga hebat dalam perkataannya. Hanya saja, yang membedakan presiden Soekarno dengan si mahasiswa itu dan saya adalah, aksi (dan dengan kualitas perkataan juga mungkin). Bagaimana beliau beraksi dan bertindak juga dilihat orang sebagai bentuk semangat beliau yang lebih dari sekedar kata.

Tapi lagi-lagi, kata ga bisa berdiri sendiri. Butuh sebuah tindakan sebagai partnernya. Kalau diibaratkan, kata itu awal dari sebuah tindakan. Kita bertindak, berperilaku baik dan buruk, karena ada kata dari-Nya atau kata dari hati kita yang mau ini itu. Tapi, kalo ga ada tindakan, langkah kita cuman sampai di awal saja. Hanya sampai di kata-kata dan biarkan orang lain yang melanjutkan. Tanpa tindakan (dari mana aja), kata itu cuman omong kosong. Dia ringan, remah, digenggam remuk, gak digenggam terbang, puff. Berhenti. The end.


Yang bagus ya semua iya, semua bersinggungan. Kata dan tindakan itu beririsan, bukan sejajar tapi setidaknya bertemu di suatu titik. Aku iya, si mahasiswa iya, si bapak iya.

sumber gambar : library.austintexas.gov